novel

Cinta Brontosaurus

Cinta brontosaurus

Cinta Brontosaurus.

Lagi-lagi buku dengan judul binatang, tapi sama sekali bukan buku binatang. Bukan, ini juga bukan buku dinosaurus, dinosaurus juga binatang kan.

Ini adalah buku kumpulan cerita pendek pengalaman pribadi Raditya Dika, pengarang buku Kambing Jantan yang absurd, kocak dan juga sial. Namun, kali ini bukunya lebih jauh bercerita tentang pengalaman cinta sang penulis.

***

Tiga hari kemudian, disinilah gue sekarang. Duduk di pojok depan kelas, pelajaran Seni Rupa. Mencoba untuk mencuri perhatian dari Lia dengan ketek semerbak sejuta parfum dan rambut yang mengalami kebotakan dini.

“Dik, itu rambut kenapa?” Guru seni rupa gue nanya.

Berkata jujur, gue bilang, “Ini papa saya yang buat Bu.”

“Papa kamu?” Suaranya pelan dan alus.

Muka guru gue seperti penuh dengan simpati. Mungkin dia nyangka gue disiksa di rumah sama bokap gue sampe kepala jadi pitak gini kayak di buku “A Child Called It”. Bukan engga mungkin kalo sebentar lagi rumah gue bakal disantronin orang-orang dari Komisi Perlindungan Anak.

“Iyah, Bu” Gue mengiyakan.

“Papa kamu yang motong?”

“Iyah. Pake gunting rumput kali.” Gue ngomong kalem.

Terlepas dari bunga bangkai tujuh rupa, rambut gatel, dan kepala pitak yang bisa jadi landasan helikopter, gue tetep kukuh dalam usaha gue merebut hati si cewek bernama Lia ini. Kelas 4 SD sebentar lagi usai, dan gue harus bertindak cepat.

Suatu hari, seperti mendapatkan pencerahan luar biasa dan semangat yang membakar jiwa raga ini, gue pun memutuskan untuk melakukan lompatan besar dalam kegiatan naksir-naksiran gue dengan Lia.

Gue memutuskan untuk menulis surat.

Lebih spesifik lagi: surat cinta.

Lebih spesifik lagi: surat cinta goblok.

[Cinta Brontosaurus, Hal:34-35]

***

Penggalan cerita di atas diambil dari cerita pendek Cerita Brontosaurus dalam buku Cinta Brontosaurus. Raditya Dika tetap konsisten dengan ciri khasnya yang mampu menafsirkan kesialan-kesialan hidupnya menjadi cerita yang kocak dan menghibur.

Buku Cinta Brontosaurus juga menjadi obat kangen bagi para pembaca Kambing Jantan. Karena buku ini juga memperkuat karakter-karakter toko yang sebelumny ada pada buku Kambing Jantan. Contohnya adalah Edgar, adik dari Raditya Dika yang tidak kalah absurd dan gila dari kakaknya.

Keabsurdan Edgar dapat kamu baca pada cerpen Banana.

“Si Edgar betul-betul brutal. Kalo ada temen gue yang maen ke rumah dan Edgar baru selese mandi, dia langsung seperti pinguin terserang rabies, berlari menuju teman gue. ‘Kasih titit nih! KASIH TITIT NIH!!!!!’ tereak Edgar sambil memajukan pinggulnya. [Cinta Brontosaurus, Hal:110]

Sama halnya dengan Kambing Jantan, buku ini bakalan bikin kamu ngakak sampai akhir, plus ada getaran-getaran cinta juga yang jadi terasa. Sayangnya buku ini tidak setebal Kambing Jantan, jadi ‘kurang kenyang’ rasanya.

***

Judul   Buku              :Cinta Brontosaurus

Penulis                      : Raditya Dika

Penerbit                     : Gagas Media

Tahun Terbit             :2006

Tebal                          :  viii + 152

Madre

madre

“Apa rasanya sejarah hidup kita berubah dalam sehari? Darah saya mendadak menjadi seperempat Tionghoa, nenek saya ternyata tukang roti, dan dia, bersama kakek yang tidak saya kenal, mewariskan anggota keluarga yang tidak pernah saya tahu” -Tansen (Madre, 2011).

Itulah salah satu kutipan kalimat yang diambil dari “Madre”, buku ketujuh Dewi Lestari yang kini marak di berbagai toko buku.  Buku setebal 160 halaman ini berisi karya-karya cerita pendek Dee, panggilan akrab sang penulis, dalam lima tahun terakhir (2006-2011).  Dan, hampir separuh dari buku ini mengisahkan tentang “Madre” dan filosofi roti yang ada di benak para artisan tempo dulu.

“Madre” berkisah tentang kehidupan Tansen, sang tokoh utama cerita, yang mendapat wasiat dari seorang kakek yang tidak pernah dikenalnya.  Nama “Madre” sendiri merupakan asal muasal dari banyak roti terkenal di toko roti Tan De Bakker, yaitu toko roti tua dan sudah bangkrut yang diwariskan secara tiba-tiba kepada Tansen.

Pada mulanya, Tansen bersikap tak acuh bahkan hampir menjual warisan yang menjadi haknya.  Ia ingin segera meninggalkan kota Jakarta yang penuh sesak dan kembali ke Bali, pergi dari semua keterikatan yang tak pernah ia duga selama ini. Namun ternyata, “Madre” mampu membuatnya bertahan bahkan berjuang menghidupkan kembali toko roti tua yang kini menjadi haknya.

“Saya meninggalkan Bali. Menetap di kota yang paling saya hindari. Bekerja rutin di satu tempat yang sama setiap hari. Ternyata sampai hari ini saya masih waras. Saya rindu pantai. Tapi pantai tidak perlu jadi rumah saya. Rumah adalah tempat dimana saya dibutuhkan. Dan Madre lebih butuh saya dibanding pantai manapun di dunia. Berfamili dengan adonan roti ternyata membuat saya menemukan keluarga baru.”-Tansen (Madre,2011)

Di tengah-tengah perjuangan Tansen membangun kembali toko roti tua itu, dia menemukan cinta dalam diri Meilai. Seseorang yang tertarik untuk mempelajari resep “Madre” setelah membaca blog tulisan Tansen. Ketertarikan keduanya bukan hanya karena perasaan yang pelan-pelan tumbuh di antara mereka, tapi karena ‘perasaan’ yang mereka miliki untuk “Madre”

Di akhir cerita, Tansen dibantu oleh Meilai berhasil menghidupkan kembali Toko Roti Tan De Bakker dan merubah nama toko roti tersebut menjadi Tansen De Bakker.

Dee dalam buku ini tidak hanya menunjukkan kepiawaiannya meramu cerita, namun ia juga mampu memperkaya pengetahuan pembaca dengan “Madre” dan filosofi roti yang mengelilinginya. Buku yang menghadirkan kisah dan pengetahuan seputar toko roti masih sangat jarang, sehingga rasa haus pembaca akan dunia roti pun dapat benar-benar dipuaskan.

Tapi sayangnya, novel ini kurang menceritakan setiap detail dari cerita, misalnya mengapa Kakek Tansen akhirnya tahu dan yakin untuk mewariskan toko roti yang sudah bangkrut tersebut kepada Tansen, padahal mereka tidak pernah mengenal satu sama lain sebelumnya.  Jika saja novel ini ditulis dengan lebih mendalam dan lebih panjang, “Madre” sebenarnya mampu menjadi “biang novel” yang berkualitas.

Tapi tetap saja bukan Dee namanya jika ia tak mampu memukau dengan kisah-kisah penuh filosofi yang dituliskannya.  Kisah-kisah platonik yang ditulis oleh Dee sejatinya bukan sekedar cerita, namun lebih kepada hasil perenungan spiritualitasnya tentang cinta dan kehidupan.

Nah, pada tanggal 28 Mei 2013 yang lalu, kumpulan cerita-cerita di novel “Madre” ini juga sudah di filmkan loh. Ada sedikit perbedaan antara detail cerita di buku dan di film, seperti Toko Roti Tan De Bakker letaknya ada di Jakarta menurut novel, namun di film, letak roti tersebut ada di Jalan Braga No.52, Bandung. Walau demikian film hasil arahan sutradara Benni Setiawan dan dibintangi oleh Vino G. Bastian sebagai Tansen serta Laura Basuki sebagai Meilai, seri Madre The Movie ini sukses memukau jutaan penonton di Indonesia.

“Hidup jangan coba-coba, kamu harus sungguh-sungguh. Kalau nggak, hidupmu akan terus dicoba…” -Mei (Madre The Movie,2013)

BDDM23wCEAMuJ9z (1)

Nah, kebetulan koleksi buku “Madre” ini tersedia di dalam katalog kami loh. Jika ingin meminjam silahkan kontak kami 🙂

Selamat membaca!

***

Judul Buku      : Madre

Penulis             : Dewi Lestari / Dee

Penerbit           : Bentang Pustaka

Tahun Terbit    : 2011

Halaman          : 160

Atheis

Beberapa menit sebelum ia roboh tertembak, Hasan masih membandingkan dirinya dengan “Hamlet si Tukang Sangsi”.

        Kita ingat Hasan. Ia tokoh utama Atheis­ – sebuah novel yang tak bisa dilupakan sejak terbit pada 1949. Penulisnya, Achdiat K. Mihardja, meninggal pekan lalu (8 Juli 2010) di Canberra, Australia. Pengarang kelahiran Garut ini mencapai usia 99. Tapi, seperti nasib para sastrawan yang punya karya berarti, usia sepanjang itu masih akan kalah lanjut ketimbang apa yang ditulisnya.

        Terutama karena Atheis, lebih dari 60 tahun sejak pertama kali beredar, pantas jadi sebuah klasik. Prosa Achdiat masih terasa segar, cara berceritanya sama sekali tak aus, frase-frasenya masih bisa mengejutkan. Di samping itu, Hasan “si Tukang Sangsi” tetap tokoh yang tak ada duanya dalam sastra Indonesia. Lebih lagi: ia bisa melintasi zamannya sendiri.

        Mungkin karena apa yang ada dalam zaman itu, masa tahun 1930-an, belum juga mati pada hari ini: perubahan besar dalam sejarah modern yang terkadang tak tertanggungkan guncangannya, baik bagi seorang yang sederhana maupun pada hal-hal yang luhur dan sakral.

        Hasan seorang sederhana. Di akhir cerita, ia ditembak pasukan jepang, tapi ia bukan pelawan. Pada jam malam di Bandung itu, ia lari dari hotel tempatnya menginap karena ia kalap, galau, marah, dan cemburu, ketika mengetahui istrinya pernah menginap di hotel itu bersama temannya, Anwar.

        Ia lari. Lari terus. Disekitarnya jalan sepi. Orang sudah diperintahkan menyingkir dan lampu-lampu dipadamkan. Ia tak peduli. Teriak hatinya bersilang selisish dengan teriak peringatan petugas keamanan.

        Akhirnya tembakan dilepaskan. Paha kirinya tembus. Ia terguling. Ia ditangkap, karena ia disangka mata-mata. Tubuhnya yang TBC itu disiksa Kenpetai. Di suatu hari pada 1945 itu ia mati di tangan pasukan pendudukan yang sudah kalah perang. Bukan sebagai pelawan.

        Hasan terlampau rapuh untuk jadi pelawan. Ia seorang yang tergerus oleh, tapi juga terasing dari, proses yang membentuk dirinya. Apa mau dikata: proses itu selalu diduduki pihak lain.

        Pada waktu ia muda, orang tua, Tuhan , dan horor menghuni seluruh dirinya. Putra mènak bergelar raden dari sebuah kampung di Garut itu pada usia remaja memutuskan untuk mengikuti jejak ayahnya: “menganut ilmu mistik”. Mungkin ia terpengaruh ayahnya yang alim. Tapi terutama karena ia takut.

        “Sebagai anak kecil aku sudah dihinggapi perasaan takut kepada neraka,” tuturnya. Dari para pembantu rumah tangga keluarga itu ia dapatkan cerita-cerita siksa Tuhan yang tak alang kepalang. Maka, katanya pula, “Aku sangat taat menjalankan perintah Ayah dan Ibu tentang Agama.”

        Ia pernah berpuasa tujuh hari tujuh malam, mandi di kali Cikapundung 40 kali dalam semalam, mengunci diri di kamar selama tiga hari tanpa makan, tidur, dan bicara. Tapi semua bukan tumbuh dari kerinduan kepada Yang Maha Mempesona, tapi dari kengerian kepada Yang Maha Ngeri.

        Kengerian itu merundungnya sampai saat-saat akhir. Ia tenggelam dalam tata simbolik yang yang diwakili “Ayah” (dan “Tuhan”) yang membentuk fiilnya dengan deretan kata “tidak boleh”. Iman dan Islam-nya adalah rasa waswas. Agama jadi garis demarkasi. Ia memproteksi diri, dan sebagai akibatnya ia terjepit dalam liang perlindungannya sendiri. Apa yang ditinggal dari dirinya bukan lagi sebuah subyek yang bebas, melainkan obyek yang tersisih, terasing, dari hidup.

        Itu sebabnya ia tak mudah tegak. Ia rentan ketika berhubungan dengan dunia di luar garis itu.

        Bekerja di jawatan air minum di kota praja Bandung, pada suatu hari ia bertemu dengan Rusli, sahabatnya di masa kecil. Dari Rusli ia berkenalan dengan Kartini, perempuan 20 tahun yang mengubah hidupnya. Atau lebih tepat, karena ia jatuh cinta pada gadis itu, ia masuk ke sebuah kancah yang mengguncangkan hidupnya.

        Rusli. Kemudian Anwar, seorang seniman anarkis. Kemudian Parta, seorang aktivis politik sayap kiri. Merekalah orang yang merasa mewakili sebuah masa depan: modernitas yang yakin, seperti diucapkan Parta, bahwa “tekniklah Tuhan kita”. Bagi mereka, tentu saja mengutip Marx, agama adalah “madat” yang dibutuhkan orang banyak karena kondisi yang nestapa.

        Hasan tak mampu menghadapi atau menangkis argumen seperti itu – karena ia memang tak pernah bergulat dengan pertanyaan dan keraguan tentang iman dan agamanya. Karena ia merasa tak kuasa. Karena ia sudah jadi obyek, bukan subyek, agama.

        Tak terbiasa jadi diri yang merdeka dalam hati dan pikiran, ia akhirnya mengikuti saja pandangan Rusli yang menyatakan diri “atheis”. Tapi pergeseran pandangannya lebih didorong oleh rasa tertariknya kepada Kartini ketimbang keyakinan yang timbul – keyakinan sebagai hasil renungan yang digeluti dan menggelutinya.

        Maka, sampai akhir ceritanya, ia terombang-ambing antara memilih untuk mengingkari Tuhan dan kembali ke ajaran tarekatnya. Ia sendiri tahu ia bahkan lebih pengecut ketimbang Hamlet dalam lakon Shakespeare. Ia tetap kecut disebut “atheis” bukan karena ia tak bisa hidup tanpa Tuhan, tapi karena, sekali lagi, ia takut siksa neraka.

        Hasan sebagai tokoh novel unik, tapi ia agaknya bukan satu perkecualian. Saya kira Marx keliru jika ia hanya menganggap agama sebagai “suara keluh (der Seufzer) dari orang-orang yang tertindas”. Yang tak dialami banyak orang seperti Hasan adalah agama yang mengekspresikan suara yang terpesona, gentar, dan bersyukur – atau agama sebagai pengakuan bahwa kita ada, dalam kemerdekaan yang bersahaja, bersama dengan yang tak kekal namun tak berhingga.

        Sumbangan novel Atheis kepada zaman ini adalah mengisahkan tragisnya sebuah iman yang sebenarnya sebuah ketakutan.

 (Sebuah esai dari Goenawan Mohamad. Dimuat di Majalah Tempo terbitan 18 Juli 2010)